Selasa, 18 September 2012
Sejarah Galuh, Abad ke-8 s.d. Pertengahan Abad ke-20 (1942)
Sejarah Galuh, Abad ke-8 s.d. Pertengahan Abad
ke-20 (1942)
Oleh A. Sobana Hardjasaputra
(Putera Galuh, sejarawan dan pustakawan pada
Fakultas Sastra Unpad)
Pengantar
Daerah Galuh yang sekarang bernama Ciamis memiliki perjalanan sejarah
sangat panjang. Hal itu terbukti dari periodisasi yang dilewatinya, yaitu masa
pra-sejarah, masa kerajaan (abad ke-8 – abad ke-16), masa kekuasaan Mataram,
kekuasaan Kompeni, dan Belanda/Hindia Belanda (akhir abad ke-16 – awal tahun
1942), masa pendudukan Jepang (awal tahun 1942 – 15 Agustus 1945), dan masa
kemerdekaan (17 Agustus 1945 – sekarang). Perjalanan sejarah Galuh yang panjang
itu sampai sekarang masih belum terungkap secara komprehensip, bahkan beberapa
bagian/episode sejarah Galuh masih “gelap”. Selain itu, sejarah Galuh masa
kerajaan masih banyak bercampur dengan mitos atau legenda, sehingga ceritera
tentang Galuh masa kerajaan pun terdapat beberapa versi.
Belum adanya penulisan sejarah Galuh yang
komprehensip kiranya disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, Pemda Kabupaten
Ciamis terkesan kurang menaruh perhatian terhadap sejarah daerahnya sendiri.
Kedua, kurangnya sejarawan yang berminat untuk mengungkap sejarah Galuh, antara
lain karena kegiatan itu memerlukan biaya cukup besar untuk mencari dan
meneliti sumbernya. Sekalipun sudah ada hasil penelitian sejarah Galuh, tetapi
uraiannya hanya berupa garis besar mengenai aspek atau kurun waktu tertentu.
Sejarah bukan hanya memiliki fungsi
informatif, tetapi juga fungsi edukatif, bahkan sesungguhnya memiliki fungsi
pragmatik, khususnya bagi pemda daerah setempat. Hal itu disebabkan sejarah
adalah suatu proses kausalitas yang ber-kesinambungan. Kehidupan masa kini
adalah hasil kehidupan masa lampau, dan kehidupan masa mendatang akan
tergantung dari sikap kita dalam mengisi kehidupan masa sekarang. Oleh sebab
itu kita harus pandai belajar dari sejarah, karena sejarah adalah “obor
kebenaran” dan “obor” agar kita tidak “pareumeun obor”.
Atas dasar hal tersebut, seyogyanya bila Pemda
Kabupaten Ciamis dan “Wargi Galuh” menaruh perhatian terhadap sejarah Galuh,
antara lain agar kita benar-benar memahami bagaimana jati diri putera Galuh.
1. Asal-Usul dan Arti Kata Galuh
“Galuh” berasal dari kata Sansakerta yang berarti sejenis batu permata.
Kata “galuh” juga biasa digunakan sebagai sebutan bagi ratu yang belum menikah
(“raja puteri”). Sejarawan W.J. van der Meulen berpendapat bahwa kata “galuh”
berasal dari kata “sakaloh” yang berarti “asalnya dari sungai”. Ada pula
pendapat yang menyatakan, bahwa kata “galuh” berasal dari kata “galeuh” dalam
arti inti atau bagian tengah batang kayu yang paling keras. Pengertian mana
yang tepat dari kata “galuh” untuk daerah yang sekarang bernama Ciamis? Hal itu
memerlukan kajian secara khusus dan mendalam.
2. Galuh Masa Kerajaan
Galuh memang pernah menjadi sebuah kerajaan. Akan tetapi ceritera
tentang Kerajaan Galuh, terutama pada bagian awal, penuh dengan mitos. Hal itu
disebabkan ceritera itu berasal dari sumber sekunder berupa naskah yang ditulis
jauh setelah Kerajaan Galuh lenyap. Misalnya, Wawacan Sajarah Galuh antara lain
menceriterakan bahwa Kerajaan Galuh berlokasi di Lakbok dan pertama kali
diperintah oleh Ratu Galuh. Setelah banjir besar yang dialami oleh Nabi Nuh
surut, pusat Kerajaan Galuh pindah ke Karangkamulyan dan nama kerajaan berganti
menjadi Bojonggaluh. Dikisahkan pula putera Ratu Galuh, yaitu Ciung Wanara
berselisih dengan saudaranya Hariang Banga. Perselisihan itu berakhir dengan
permufakatan, bahwa kekuasaan atas Pulau Jawa akan dibagi dua. Ciung Wanara
berkuasa di Pajajaran dan Hariang Banga menguasasi Majapahit. Selama belum ada
sumber atau fakta kuat yang mendukungnya, kisah seperti itu adalah mitos (Bagi
guru sejarah, ceritera yang bersifat mitos boleh-boleh saja disampaikan kepada
para siswa, dengan catatan harus benar-benar ditegaskan, bahwa ceritera itu
adalah mitos yang kebenarannya sulit dipertanggungjawabkan).
Ceritera tentang Kerajaan Galuh yang dapat dipercaya adalah berita dalam
sumber primer berupa prasasti, naskah sejaman (ditulis pada jamannya atau tidak
jauh dari peristiwa yang diceriterakannya), dan sumber lain yang akurat.
Menurut sumber-sumber tersebut, Galuh sebagai nama satu daerah di Jawa
Barat—Dalam Peta Pulau Jawa, kata “galuh” digunakan pula menjadi bagian nama
atau bagian nama beberapa tempat, seperti Galuh (Purbalingga), Rajagaluh
(Majalengka), Sirah Galuh (Cilacap), Galuh Timur (Bumiayu), Segaluh dan Sungai
Begaluh (Leksono), Samigaluh (Purworejo), dan Hujung (Ujung) Galuh di Jawa
Timur) muncul dalam panggung sejarah pada abad ke-8. Setelah Kerajaan
Tarumanagara (abad ke-5 s.d. abad ke-7) berakhir, di daerah Jawa Barat berdiri
Kerajaan Sunda (abad. ke-8 s.d. abad ke-16). Pusat kerajaan itu
berpindah-pindah, dari Galuh pindah ke Pakuan Pajajaran/Bogor (± abad ke-11 s.d
abad ke-13), kemudian pindah lagi ke Kawali (abad ke-14). Selanjutnya kerajaan
itu kembali berpusat di Pakuan Pajajaran, sehingga lebih dikenal dengan nama
Kerajaan Pajajaran.
Nama kerajaan seringkali berubah dengan sebutan nama ibukotanya. Oleh
karena itu, tidak heran bila ketika Kerajaan Sunda beribukota di Galuh,
kerajaan itu disebut juga Kerajaan Galuh. Diduga pusat/daerah inti Galuh waktu
itu adalah Imbanagara sekarang. Raja terkenal yang berkuasa di Galuh adalah
Sanjaya. Ketika kerajaan itu berpusat di Kawali (abad ke-14) diperintah oleh
Prabu Maharaja (di kalangan masyarakat setempat, raja ini dikenal dengan nama
Maharaja Kawali). Pada masa pemerintahan raja itulah agama Islam masuk ke
Kawali dari Cirebon antara tahun 1528-1530.
Ketika Kerajaan Sunda/Pajajaran diperintah oleh Nusiya Mulya (paruh
kedua abad ke-16), eksistensi kerajaan itu berakhir akibat gerakan kekuatan
Banten di bawah pimpinan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan agama Islam.
Peristiwa itu terjadi tahun 1579/1580. Sejak itu Pakuan Pajajaran berada di
bawah kekuasaan Banten.
Setelah Kerajaan Sunda/Pajajaran berakhir, Galuh berdiri sendiri sebagai
ke-rajaan merdeka (1579/1580 – 1595). Sementara itu, berdiri pula Kerajaan
Sumedang Larang (± 1580-1620) dengan ibukota Kutamaya. Kerajaan Galuh
diperintah oleh Prabu (Maharaja) Cipta Sanghiang di Galuh, putera Prabu
Haurkuning. Batas-batas wilayah Kerajaan Galuh waktu itu adalah : Sumedang
batas sebelah utara, Galunggung dan Sukapura batas sebelah barat, Sungai
Cijulang batas sebelah selatan, dan Sungai Citanduy batas sebelah timur. Perlu
disebutkan bahwa daerah Majenang, Dayeuhluhur, dan Pegadingan yang sekarang
masuk wilayah Jawa Tengah, semula termasuk wilayah Galuh. Di tempat-tempat
tersebut sampai sekarang pun masih terdapat orang-orang berbahasa Sunda.
3. Galuh di bawah kekuasaan Mataram
Di bawah kekuasaan Mataram, daerah-daerah di
Priangan yang semula berstatus kerajaan berubah menjadi kabupaten. Galuh berada
di bawah kekuasaan Mataram antara tahun 1595-1705. Galuh pertama kali jatuh ke
dalam kekuasaan Mataram, ketika Mataram diperintah oleh Sutawijaya alias
Panembahan Senopati (1586-1601). Oleh penguasa Mataram, Galuh dimasukkan ke
dalam wilayah administratif Cirebon. Setelah Prabu Cipta Sanghiang di Galuh
meninggal, ia digantikan oleh puteranya bernama Ujang Ngekel bergelar Prabu
Galuh Cipta Permana (1610-1618), berkedudukan di Garatengah (daerah sekitar
Cineam, sekarang masuk wilayah Kabupaten Tasikmalaya). Prabu Galuh Cipta
Permana yang telah masuk Islam (semula beragama Hindu) menikah dengan puteri
Maharaja Kawali bernama Tanduran di Anjung. Selain Garatengah, di wilayah Galuh
terdapat pusat-pusat kekuasaan, dikepalai oleh seseorang yang ber-kedudukan
sebagai bupati dalam arti raja kecil. Pusat-pusat kekuasaan itu antara lain
Cibatu, Utama (Ciancang), Kertabumi (Bojong Lopang), dan Imbanagara.
Mataram menguasai Galuh kemudian Sumedang Larang
(1620) dalam usaha menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanan di bagian
barat dalam menghadapi kemungkinan serangan pasukan Banten dan Kompeni yang
berkedudukan di Batavia. Kekuasaan Mataram di Galuh lebih tampak ketika Mataram
diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645) dan Galuh diperintah oleh Adipati
Panaekan (1618-1625), putera Prabu Galuh Cipta Permana, selaku Bupati Wedana.
Penguasaan Mataram terhadap Galuh dan Sumedang Larang sifatnya berbeda. Galuh
dikuasai oleh Mataram melalui cara kekerasan, karena pihak Galuh melakukan
perlawanan. Sebaliknya, Sumedang Larang jatuh ke bawah kekuasaan Mataram karena
berserah diri, antara lain karena adanya hubungan keluarga antara Raden Aria
Suriadiwangsa penguasa Sumdang Larang dengan penguasa Mataram.
Tahun 1628 Mataram merencanakan penyerangan terhadap Kompeni di Batavia
dan meminta bantuan para kepala daerah di Priangan. Ternyata rencana itu
me-nimbulkan perbedaan pendapat yang berujung menjadi perselisihan di antara
para kepada daerah di Priangan. Dalam hal ini, Adipati Panaekan berselisih
dengan adik iparnya, yaitu Dipati Kertabumi, Bupati Bojonglopang, putera Prabu
Dimuntur. Dalam perselisihan itu Adipati Panaekan terbunuh (1625). Ia
digantikan oleh puteranya bernama Mas Dipati Imbanagara yang berkedudukan di
Garatengah (Cineam). Pada masa pemerintahan Dipati Imbanagara, ibukota
Kabupaten Galuh dipindahkan dari Garatengah (Cineam) ke Calincing. Tidak lama
kemudian pindah lagi ke Bendanegara (Panyingkiran).
Ketika pasukan Mataram menyerang Batavia (1628), kepala daerah di
Priangan memberikan bantuan. Pasukan Galuh dipimpin oleh Bagus Sutapura,
pasukan Priangan dipimpin oleh Dipati Ukur, Bupati Wedana Priangan. Dipati Ukur
memang mendapat tugas khusus dari Sultan Agung untuk mengusir Kompeni dari
Batavia. Ternyata Dipati Ukur gagal melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, ia
memberontak terhadap Mataram.
Pemberontakan Dipati Ukur yang berlangsung
lebih-kurang empat tahun (1628-1632) merupakan faktor penting yang mendorong
Sultan Agung tahun 1630-an memecah wilayah Priangan di luar Sumedang menjadi
beberapa kabupaten, termasuk Galuh. Wilayah Galuh dipecah menjadi beberapa
pusat kekuasaan kecil, yaitu Utama diperintah oleh Sutamanggala, Imbanagara
diperintah oleh Adipati Jayanagara, Bojong-lopang diperintah oleh Dipati
Kertabumi, dan Kawasen diperintah oleh Bagus Sutapura. Khusus kepala-kepala
daerah yang berjasa membantu menumpas pemberontakan Dipati Ukur diangkat oleh
Sultan Agung menjadi bupati di daerah masing-masing. Tahun 1634 Bagus Sutapura
dikukuhkan menjadi Bupati Kawasen—Kepala daerah lain yang diangkat menjadi
bupati antara lain Ki Astamanggala (Umbul Cihaurbeuti) menjadi bupati Bandung
dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, Ki Wirawangsa (Umbul Sukakerta) menjadi
bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha, dan Ki Somahita (Umbul
Sindangkasih) menjadi bupati Parakanmuncang dengan gelar Tumenggung Tanubaya.)
(daerah antara Banjarsari – Padaherang). Ia memrintah Kawasen sampai dengan
1653, kemudian digantikan oleh puteranya bernama Tumenggung Sutanangga
(1653-1676). Sementara itu, Dipati Imbanagara yang dicurigai oleh pihak Mataram
berpihak kepada Dipati Ukur, dijatuhi hukuman mati (1636). Namun puteranya,
yaitu Adipati Jayanagara (Mas Bongsar) diangkat menjadi Bupati Garatengah.
Imbanagara dijadikan nama kabupaten dan Kawasen digabungkan dengan Imbanagara.
Pertengahan tahun 1642 Adipati Jayanagara memindahkan lagi ibukota
Kabupaten Galuh ke Barunay (daerah Imbanagara sekarang). Pemindahan ibukota
kabupaten yang terjadi tanggal 14 Mulud tahun He (12 Juni 1642—Sejak tahun
1970-an, Pemda Kabupaten Ciamis menganggap tanggal 12 Juni 1642 sebagai Hari
Jadi Kabupaten Ciamis. Mengenai Hari Jadi Ciamis, dibicarakan pada akhir
tulisan ini). itu dilandasi oleh dua alasan. Pertama, Garatengah dan Bendanegara
memberi kenangan buruk dengan ter-bunuhnya Adipati Panaekan dan Dipati
Imbanagara. Kedua, Barunay dianggap lebih cocok menjadi pusat pemerintahan dan
akan membawa perkembangan bagi kabupaten tersebut. Hal itu antara lain
ditunjukkan oleh masa pemerintahan Adipati Jayanagara yang berlangsung selama
42 tahun. Selama waktu itu, daerah-daerah kekuasaan lain, yaitu Kawasen,
Kertabumi, Utama, Kawali, dan Panjalu dihapuskan. Semua daerah itu menjadi
wilayah Kabupaten Galuh. Dengan demikian, Kabupaten Galuh memiliki wilayah yang
sangat luas, yaitu dari Cijolang sampai ke pantai selatan dan dari Citanduy
sampai perbatasan Sukapura.
Setelah Adipati Jayanagara meninggal, kedudukannya sebagai bupati
digantikan oleh Anggapraja. Akan tetapi tidak lama kemudian jabatan itu
diserahkan kepada adiknya bernama Angganaya. Sementara itu, daerah Utama
digabungkan dengan Bojonglopang, dikepalai oleh Wirabaya. Dipati Kertabumi yang
semula memerintah Bojonglopang, dipindahkan ke Karawang dan menjadi cikal-bakal
bupati Karawang.
Tahun 1645 setelah Sultan Agung meninggal, Amangkurat I putera Sultan
Agung kembali melakukan reorganisasi wilayah Priangan. Wilayah itu dibagi
menjadi beberapa daerah ajeg (setarap kabupaten), antara lain Sumedang,
Bandung, Parakan-muncang, Sukapura, Imbanagara, Kawasen, Galuh, dan Banjar.
4. Galuh di bawah kekuasaan Kompeni (VOC/Verenigde
Oost-Indische Compagnie, yaitu Perkumpulan Perseroan Belanda di Hindia Timur)
Akhir tahun 1705 Galuh sebagai bagian dari wilayah Priangan timur
diserahkan oleh penguasa Mataram kepada Kompeni melalui perjanjian tanggal 5
Oktober 1705. Wilayah Priangan barat jatuh ke dalam kekuasaan Kompeni lebih
dahulu, yaitu tahun 1677—Sejak tahun 1677 di wilayah Priangan memberlakukan
penanaman wajib, terutama kopi dan nila (tarum) dalam sistem yang disebut
Preangerstelsel). Mataram menyerahkan Priangan kepada Kompeni sebagai upah
membantu mengatasi kemelut perebutan tahta Mataram—kompeni membantu Pangeran
Puger dalam usaha merebut tahta Mataram dari keponakannya, yaitu Amangkurat III
alias Sunan Mas). Namun demikian, Galuh dan daerah Priangan timur lainnya tetap
berada dalam wilayah administratif Cirebon.
Sebelum terjadinya perjanjian 5 Oktober 1705, Kompeni sudah mengangkat
Sutadinata menjadi Bupati Galuh (1693-1706) menggantikan Angganaya yang
meninggal. Ia kemudian diganti oleh Kusumadinata I (1706-1727). Waktu itu
Priangan berada di bawah pengawasan langsung Pangeran Aria Cirebon sebagai
wakil Kompeni.
Beberapa waktu kemudian, Bupati Kawasen Sutanangga
diganti oleh Patih Ciamis yang dianggap orang ningrat tertua dan terpandai di
Galuh. Daerah Utama digabungkan dengan Bojonglopang.
Bupati Galuh berikutnya adalah Kusumadinata II (1727-1732). Oleh karena
ia tidak memiliki putera, maka setelah ia meninggal kedudukannya digantikan
oleh keponakannya bernama Mas Garuda, sekalipun keponakannya itu belum dewasa.
Oleh karena itu, pemerintahan dijalankan oleh tiga orang wali, seorang di
antaranya adalah ayah Mas Garuda sendiri, yaitu Raden Jayabaya Patih
Imbanagara. Mas Garuda baru memegang pemerintahan sendiri mulai tahun 1751
hingga tahun 1801, dengan gelar Kusumadinata III. Ia digantikan oleh Raden
Adipati Natadikusuma (1801-1806).
Pada masa peralihan kekuasaan dari Kompeni kepada Pemerintah Hindia
Belanda, Kabupaten Imbanagara dihapuskan. Daerah itu digabungkan dengan Galuh
dan Utama. Ketiga daerah itu diperintah oleh Bupati Galuh. Menurut sumber
tradisional (Wawacan Sajarah Galuh), peristiwa itu terjadi akibat konflik
antara Raden Adipati Natadikusuma dengan seorang pejabat VOC yang bersikap dan
bertindak kasar. Raden Adipati Natadikusuma ditahan di Cirebon. Kedudukannya
sebagai Bupati Imbanagara diganti oleh Surapraja dari Limbangan (1806-1811).
Di bawah kekuasaan Kompeni, sistem pemerintahan tradisional yang
dilakukan para bupati pada dasarnya tidak diganggu. Hal itu berlangsung pula
pada masa pemerintahan Hindia Belanda (1808-1942).
5. Galuh Masa Pemerintahan Hindia Belanda
Akhir Desember 1799 kekuasaan Kompeni berakhir akibat VOC bangkrut.
Kekuasaan di Nusantara diambilalih oleh Pemerintah Hindia Belanda yang dimulai
oleh pemerintahan Gubernur Jenderal H.W. Daendels (1808-1811). Di bawah
pemerintahan Hindia Belanda, Galuh tetap berada dalam wilayah administratif
Cirebon.
Pada akhir masa pemerintahan Daendels, Bupati Imbanagara Surapraja
meninggal (1811). Bupati Imbanagara selanjutnya dijabat oleh Jayengpati Kertanegara,
merangkap sebagai Bupati Cibatu (Ciamis). Setelah pensiun, ia digantikan oleh
Tumenggung Natanagara. Penggantinya adalah Pangeran Sutajaya asal Cirebon. Oleh
karena selalu berselisih paham dengan patihnya, Pangeran Sutajaya kembali ke
Cirebon. Jabatan Bupati Imbanagara kembali dipegang oleh putera Galuh, yaitu
Wiradikusuma, dan nama kabupaten ditetapkan menjadi Kabupaten Galuh. Tahun 1815
Bupati Wiradikusuma memindahkan ibukota kabupaten dari Imbanara ke Ciamis.
Pada masa pemerintahan Bupati Galuh berikutnya, yaitu Adipati Adikusumah
(1819-1839), putera Bupati Wiradikusuma, Kawali dan Panjalu dimasukkan ke dalam
wilayah Kabupaten Galuh. Bupati Adipati Adikusumah menikah dengan puteri
Jayengpati (Bupati Cibatu). Dari perkawinan itu kemudian lahir seorang anak
laki-laki bernama Kusumadinata. Ia kemudian menggantikan ayahnya menjadi Bupati
Galuh (1839-1886) dengan gelar Tumenggung Kusumadinata. Selanjutnya ia berganti
nama menjadi Raden Adipati Aria Kusumadiningrat. Ia adalah Bupati Galuh terkemuka
yang dikenal dengan julukan “Kangjeng Prebu”.
Sejak tahun 1853, Bupati R.A.A. Kusumadiningrat tinggal di Keraton
Sela-gangga yang dilengkapi oleh sebuah masjid dan kolam air mancur. Tahun 1872
di halaman keraton dibangun tempat pemandian yang disebut Jambansari—Pemandian
itu sering digunakan oleh warga masyarakat dengan maksud “ngalap berkah” dari
“Kangjeng Prebu”). Antara tahun 1859-1877, dibangun beberapa gedung di pusat
kota kabupaten (Ciamis). Gedung-gedung dimaksud adalah gedung kabupaten yang
cukup megah (di lokasi Gedung DRPD sekarang), Masjid Agung, Kantor Asisten
Residen (gedung kabupaten sekarang), tangsi militer, penjara, kantor telepon,
rumah kontrolir, dan lain-lain.
Bupati R.A.A. Kusumadiningrat sangat besar jasanya dalam memajukan
ke-hidupan rakyat Kabupaten Galuh. Jasa-jasa itu antara lain membuat sejumlah
irigasi, membuka sawah beribu-ribu bau, mendirikan tiga buah pabrik
penggilingan kopi, membuka perkebunan kelapa, membangun jalan antara Kawali –
Panjalu, mendirikan “Sakola Sunda” di Ciamis (1862) dan di Kawali (1876). Atas
jasa-jasa tersebut, ia memperoleh tanda kehormatan atau atribut kebesaran dari
Pemerintah Hindia Belanda berupa Songsong Kuning (payung kebesaran berwarna
kuning mas) tahun 1874) dan bintang Ridder in de Orde van den Nederlandschen
Leeuw (“Bintang Leo”) tahun 1878).
Jabatan Bupati Galuh selanjutnya diwariskan kepada puteranya, yaitu
R.A.A. Kusumasubrata (1886-1914). Pada masa pemerintahan bupati ini, mulai
tahun 1911 Ciamis dilalui oleh jalan kereta api jalur Bandung – Cilacap.via
Ciawi-Malangbong-Tasikmalaya. Pada masa pemerintahan Bupati Galuh berikutnya,
yaitu Bupati R.T.A. Sastrawinata (1914-1935), Kabupaten Galuh dilepaskan dari
wilayah administratif Cirebon dan masuk ke dalam wilayah Keresidenan Priangan
(tahun 1915). Nama Kabupaten diubah menjadi Kabupaten Ciamis. Antara tahun
1926-1942, Ciamis masuk ke dalam Afdeeling Priangan Timur bersama-sama dengan
Tasikmalaya dan Garut, dengan ibukota afdeeling di kota Tasikmalaya.
6. Hari Jadi Kabupaten Ciamis
Telah dikemukakan, bahwa pada masa pemerintahan Adipati Jayanagara ibukota Kabupaten Galuh dipindahkan ke
Barunay (daerah Imbanagara sekarang). Peristiwa itu terjadi tanggal 14 Mulud
tahun He atau tanggal 12 Juni 1642 Masehi. Sekarang tanggal 12 Juni 1642
dipilih dan ditetapkan oleh Pemda Kabupaten Ciamis sebagai Hari Jadi Kabupaten
Ciamis. Alasan atau dasar pertimbangannya adalah kepindahan ibukota kabupaten
itu membawa perkembangan bagi Kabupaten Galuh. Sejak itulah Kabupaten Galuh
mulai menunjukkan perkembangan yang berarti.
Tepatkah pemilihan tanggal tersebut?
Bila dikaji secara objektif dan kritis, menurut penulis, pemilihan
tanggal 12 Juni 1642 sebagai Hari Jadi Kabupaten Ciamis atau Hari Jadi
Kabupaten Galuh sekalipun adalah keliru atau kurang tepat. Pertama, bagi orang
yang tidak memahami sejarah Galuh, pemilihan tanggal tersebut akan mengandung
arti bahwa Kabupaten Galuh berdiri pada tanggal 12 Juni 1642, padahal jauh
sebelum tanggal itu Kabupaten Galuh sudah berdiri. Kedua, Kabupaten Galuh
berubah namanya menjadi Kabupaten Ciamis terjadi pada dekade kedua abad ke-20
(1915), setelah Galuh dilepaskan dari wilayah administratif Cirebon.
Atas dasar hal tersebut dan untuk kebenaran sejarah, seyogyanya hari
jadi Kabupaten Ciamis dikaji ulang. Menurut penulis, hari jadi Kabupaten Ciamis
seharusnya mengacu pada momentum awal berdirinya kabupaten itu, atau mengacu
pada tanggal perubahan nama kabupaten dari Kabupaten Galuh menjadi Kabupaten
Ciamis.
SUMBER ACUAN
Atja. 1968.
Tjarita Parahijangan. Bandung : jajasan Kebudajaan Nusalarang.
Atja (ed.). 1975.
Sejarah Jawa Barat dari Masa Prasejarah Hingga Masa
Perkembangan Agama Islam. Bandung : Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan
Nasional Propinsi Jawa Barat.
Ekadjati, Edi S. 1977.
Wawacan Sajarah Galuh. Bandung : EFEO.
de Haan, F. 1910, 1911, 1912.
Priangan; De Preanger-Regentschappen onder het
Nederlandsch Bestuur tot 1811. Deel I, II & III. Batavia : BGKW.
Hardjasaputra, A. Sobana. 1985.
Bupati-Bupati Priangan; Kedudukan dan Peranannya
Pada Abad Ke-19. Tesis. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Kern, R.A. 1898.
Geschiedenis der Preanger-Regentschappen; Kort
Overzigt. : De Vries & Fabricius.Bandung
Lubis, Nina H. et al. 2000.
Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat. : Alqaprint.Bandung
Raffles, Thomas Stamford. 1982.
History of Java. II. Kuala Lumpur : Oxford Press. University
van Rees, Otto. 1869.
http://usumhujan.wordpress.com/2008/05/09/sejarah-galuh-abad-ke-8-sd-pertengahan-abad-ke-20-1942/
http://usumhujan.wordpress.com/2008/05/09/sejarah-galuh-abad-ke-8-sd-pertengahan-abad-ke-20-1942/
Rabu, 12 September 2012
Kunjungan Kerja DPP PAGUYUBAN KI SUNDA
kunjungan kerja DPP,,, salah satu anggota korban kebakaran di GARUT,, |
nyuhunkeun pi du'a na ,,,,,, mudah'an tiasa dibantos ieu sepuh ku urang sadayana,,,margi anjeuna kenging musibah kahuruan bumina,,,,amin |
nyuhunkeun pi du'a na ,,,,,, mudah'an sing enggal damang ieu wargi urang sdayana ,,, margi anjeuna kenging musibah tabrakan,,,,amin |
Selasa, 04 September 2012
Pengobatan Alternatif Ki Amuk Massa
Gurah Mata : Adalah pengobatan untuk melancarkan peredaran darah dan mengeluarkan kotoran di sekitar mata. Efektif untuk Katarak, Min/ Plus, Rabun Jauh, Rabun Dekat, Mata Tua, dan lain sebagainya.
Gurah Hidung : Adalah pengobatan untuk mengeluarkan kotoran/ racun, Nikotin dan Tar. Serta mengeluarkan Toksin-toksin yang tidak berguna dari saluran resparasi. Memperkuar paru-paru, menghilangkan sinus, polip pilek menahun memperbagus suara, migrain, dan lain sebagainya.
Refleksi : Menstimulasi saraf lemah/ kendor kembali keposisi semula, serta merangsang saraf untuk aktif kembali. (lumpuh, strooke, dsb)
Bekam : adalah pengobatan dengan mengeluarkan racun dalam darah dengan menggunakan api. Efektif untuk asam urat, kolestrol dan lain sebagainya.
(Bonus Transfer Energi Positif dan Herbal)
Informasi pengobatan Ki Amuk Massa (Mulya Jaya)
Kp. Kiarapandak Ds. Cangkuang Kec. Leles Kab Garut 44152
Telp/ Hp : 081 312 689 914
(Bonus Transfer Energi Positif dan Herbal)
Informasi pengobatan Ki Amuk Massa (Mulya Jaya)
Kp. Kiarapandak Ds. Cangkuang Kec. Leles Kab Garut 44152
Telp/ Hp : 081 312 689 914
Langganan:
Postingan (Atom)